Jakarta, 30 November 2012
Tulisan
sejarawan senior LIPI Asvi Warman Adam di sebuah harian ibukota yang berjudul
Irman Gusman dan Survey Calon Presiden edisi Jum’at (30/11) mendapatkan
tanggapan serius dari pengamat politik Universitas Indonesia Arbi Sanit. Dia
juga menilai, dengan tidak memasukkan nama orang-orang dari luar partai atau
yang tidak ada kaitannya dengan partai seperti Ketua Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) RI Irman Gusman, hasil survey itu patut dipertanyakan.
Pakar
politik senior ini mempertanyakan sampai berapa jauh penyimpangannya terjadi.
‘’Apakah benar yang dua ratusan orang elit yang diminta mengisi kuestioner itu
bisa mengalahkan pandangan orang yang lebih banyak? Lembaga survey ini seakan-akan
menipu kita juga, bahwa dia sudah benar,’’ katanya.
Meskipun
mengapresiasi juga beberapa hal yang dilakukan lembaga survey itu, namun Arbi
menyimpulkan bahwa di luar konteks hasil survey itu, yang jelas kita melihat
sebuah perkembangan baru. Yaitu, bahwa tokoh-tokoh tertentu seperti Irman
Gusman, Dahlan Iskan dan beberapa nama lainnya yang tidak berasal dari satu
partai tertentu tapi sudah kelihatan kerja dan kapabilitasnya jauh lebih baik
dari pada orang-orang partai.
‘’Karena
itu, ini kesempatan bagi partai untuk menyadari bahwa dia sudah salah selama
ini. Sekaranglah waktunya untuk mengoreksi diri. Kalau negara ini diinginkan lebih
baik ke depannya, memang seperti itu seharusnya. Artinya, orang-orang partai
itu mbok tahu diri. Mereka cukup mencalonkan saja orang-orang dari luar partai,
yang memang terbukti lebih baik kerjanya. Ini merupakan kesempatan yang sangat
baik bagi orang-orang partai, untuk memperbaiki citranya kepada masyarakat,
memberikan sumbangan yang lebih jelas kepada bangsa ini,’’ tandas pakar politik
senior Universitas Indonesia itu.
Asvi
Warman Adam dalam sebuah tulisannya di sebuah harian ibukota mengkritik hasil
survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang dilakukan pada paruh pertama
2012. Dengan melibatkan 223 responden
yang terdiri atas akademisi, pemimpin media, pengusaha dan tokoh agama seperti
Ketua PB NU Said Agil Siraj, Rektor UIN Komarudin Hidayat, mantan Ketua Umum
Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno, survey ini
menghasilkan sejumlah nama yang dianggap paling potensial untuk menjadi
presiden Indonesia periode mendatang.
Tapi
dengan tidak memasukkan nama-nama orang yang di tengah masyarakat dipandang
cukup memiliki kapasitas, kapabilitas dan elektabilitas seperti Irman Gusman,
Asvi yang juga diminta mengisi kuesioner oleh Dr. Lutfi Assyaukanie menyatakan
tidak bersedia mengisinya. ‘’Apakah Gita Wirayawan lebih popular dari daripada
Ketua DPD Irman Gusman?’’ tulis sejarawan senior LIPI itu mempertanyakan
mengapa nama Irman tidak masuk, sementara tokoh lain seperti Gita Wiryawan dan
Chairul Tanjung yang baru dikenal bisa masuk.
Bahkan
dia juga mempertanyakan darimana LSI mendapatkan 24 nama tokoh yang disodorkan.
Di samping itu, sekiranya indikator yang digunakan selain tidak pernah
melanggar HAM dan tidak memiliki masalah yang muncul di tengah masyarakat,
mengapa nama Prabowo Subianto dan Abu Rizal Bakrie bisa masuk? Prabowo,
bagaimanapun, adalah tokoh yang
dipandang tersangkut kasus penculikan aktifis sebelum 1998. Sedangkan Abu Rizal
Bakrie tidak bisa dilepaskan dari kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo,
Jawa Timur.
Bagaimanapun,
menurut Arbi Sanit, tentunya kita tentu
harus mengkritik bahwa orang-orang yang kita anggap popular tetapi tidak masuk.
Tetapi kita tidak boleh langsung menyalahkan lembaga survey ini. Mana tahu
mereka memiliki metode tersendiri dalam memilih orang-orang yang cekatan ini. ‘’Saya
sendiri apakah tidak dianggap faham politik, sehingga tidak dimasukkan ke dalam
orang-orang yang dimintakan pendapatnya karena tidak termasuk orang yang
diminta mengisi kuesioner. Tapi saya tidak mengeluh. Yang penting sekarang,
kita pertanyakan saja tehniknya. Mungkin ada tehnik khusus, sehingga
orang-orang seperti Irman Gusman tidak masuk,’’ papar Arbi.
Berkenaan
dengan itu, menurut Arbi, tidak masalah dari mana lembaga-lembaga survey itu
mendapatkan nama-nama tokoh yang ditampilkan, sehingga menimbulkan pertanyaan
apakah tidak mungkin ini semacam pesanan. Yang jadi masalah, bagaimana data sesungguhnya
yang tidak ditampilkan. Apa pandangan kelompok masyarakat yang pemahamannya
lebih rendah dan apa pula pandangan kelompok yang lebih tinggi. Itu yang tidak
ditampilkan.
Dijelaskan
Arbi Sanit lebih lanjut, kepemimpinan bangsa ini ke depan harusnya diisi oleh
orang-orang yang diharapkan mampu menjadikan bangsa ini sebagai sebuah bangsa
yang maju. Untuk itu, katanya, dia memandang dirinya sebagai salah seorang yang
sejak awal mencoba membuka pandangan baru, bahwa orang-orang di luar partai
jauh lebih baik untuk dicalonkan sebagai pemimpin Indonesia masa depan.
Pengalaman
terpilihnya Joko Widodo alias Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta membuktikan
tepatnya pandangan ini. Sebelumnya, Jokowi mungkin tidak diperhitungkan untuk
bisa memenangkan pertarungan yang sangat keras dalam pemilukada DKI. Tapi harus
diingat bahwa sebuah penelitian dia disebut sudah memberikan dasar-dasar
argument yang saintifik dan empirik, bagaimana mestinya menjadi pemimpin.
Karena itu, partai memang harus menyerah sekarang. Yakni dengan mendukung orang-orang dari luar
partai.
‘’Ya
bikinlah perjanjian dan yang benar perjanjiannya. Jangan perjanjian yang
memeras,’’ katanya.
Karena
itu, Arbi mengatakan, tokoh-tokoh seperti Irman Gusman yang sudah kelihatan
kapabilitasnya, dianggap bersih karena tidak terlibat dalam kasus apa pun di masa
lalu, harusnya diusung oleh partai-partai. Seharusnya partai-partai mau
mengambil inisiatif untuk mendukung mereka. Sudah saatnya partai-partai
membujuk orang-orang ini untuk mau dicalonkan. Tentunya mereka tidak mau
didukung oleh satu partai. Karena itu, beramai-ramailah partai mendukung
mereka, membangun koalisi untuk mendukung mereka. Lalu buatlah kontrak politik,
baik sesudah pemilu maupun sebelumnya. Jelaskan kepada masyarakat, supaya nanti
masyarakat tahu, siapa yang ingkar janji dan siapa yang komitmennya kuat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar