SIARAN PERS
BIDANG PEMBERITAAN
DAN MEDIA
VISUAL
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
SEKRETARIAT JENDERAL
Telp. (021)
5789 7346, Faks. (021) 5789 7323
Jakarta, 19 Juni 2012
DPD Akan Mengajukan Judicial Review UU Tertentu
Tim Litigasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merekomendasikan
pengajuan uji materi (judicial review)
materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tertentu yang menjadi sumber
sengketa antarlembaga negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) untuk mencairkan kebekuan hubungan dalam pembahasan rancangan
undang-undang antara DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadwal pengajuannya
sesegera mungkin.
Wakil Koordinator Tim Litigasi DPD Alirman
Sori menegaskan, “Momentumnya ialah bahwa sampai hari ini tidak jelas political will DPR terhadap DPD karena
sikap fraksi-fraksi DPR tidak mendukung eksistensi DPD. Agar sistem keparlemenan
tertata, DPR harus memperjelas political
will-nya terhadap DPD berdasarkan mekanisme dan prosedur yang pasti dan
baku. Bila political will tidak
kunjung jelas, maka upaya kita ialah merebut momentum. Sayangnya, kenyataan political will tersebut hanya pelaksanaan
Sidang Bersama DPR-DPD.”
Senator asal Sumatera Barat ini menjelaskan,
penguatan kelembagaan DPD bertahap-tahap sejak pertemuan konsultasi antara
pimpinan DPR dan pimpinan DPD, perubahan substansi undang-undang, hingga uji
materia undang-undang terhadap UUD 1945. “Puncak perjuangan adalah
mengamandemen UUD 1945. Tahapan terakhir ini tercetus dalam periode DPD yang
lalu.”
“Persoalan sebenarnya ialah ketergantungan DPD
kepada DPR. DPR dapat berdiri mandiri tanpa DPD tetapi DPD tidak dapat berdiri
sendiri tanpa DPR. Pertanyaannya, DPD mau menjadi apa?” Menurutnya, kalau
persoalan eksistensi DPD hanya menjadi agenda bahasan dalam pertemuan
konsultasi antara pimpinan DPR dan pimpinan DPD maka penyelesaiannya tidak
cukup. “Posisi strategis DPR membuat DPR bisa meninggalkan DPD meskipun
undang-undang mengatur hubungan keduanya.”
“Kebekuan hubungan DPR-DPD harus diterobos
melalui uji materi di MK (Mahkamah Konstitusi),” ia menyatakannya, mewakili I
Wayan Sudirta (senator asal Bali) selaku Koordinator Tim Litigasi DPD, saat melaporkan
perkembangan pelaksanaan tugas Tim Litigasi DPD dalam Sidang Paripurna DPD di
Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/6).
Agendanya, penyampaian Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas Alat Kelengkapan
DPD. Ketua DPD Irman Gusman (senator asal Sumatera Barat) yang memimpin acara.
Menurutnya, rapat Panitia Musyawarah (Panmus)
DPD tanggal 11 Juni 2012 menyepakati bahwa jadwal pengajuan permohonan sesegera
mungkin tanpa mengganggu perjuangan amandemen kelima UUD 1945 yang menjadi prioritas
DPD. “Karena situasi kondisi riil DPD yang sampai saat ini tidak menguntungkan
dalam pembahasan rancangan undang-undang,” Alirman menyambung.
Pimpinan DPD memutuskan pembentukan tim
ligitasi yang terdiri atas 20 senator. Tim dikoordinir Ketua Panitia Perancang
Undang-Undang (PPUU) DPD I Wayan Sudirta serta diarahkan Ketua DPD Irman Gusman
dan dua Wakil Ketua DPD, Laode Ida (senator asal Sulawesi Tenggara) dan Gusti
Kanjeng Ratu Hemas (senator asal DI Yogyakarta).
Tim Litigasi DPD bertugas untuk mengkaji
materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang menjadi sumber sengketa
antarlembaga negara, termasuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD) dan Undang Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), sekaligus
merekomendasikan hasil kajiannya sebagai materi judicial review undang-undang terhadap UUD 1945.
Merujuk fungsi “pengajuan usul rancangan
undang-undang” dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU PPP maka materi ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang yang melawan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 adalah
Pasal 102 ayat (1) huruf d dan e UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 48 ayat
(2) dan (4) UU PPP yang mereduksi kewenangan legislasi DPD menjadi setara
kewenangan legislasi anggota, komisi, dan gabungan komisi DPR; Pasal 147 ayat
(3) dan (4) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mendistorsi RUU usul DPD menjadi
RUU usul DPR; serta Pasal 43 ayat (2) dan Pasal 46 ayat (1) UU PPP yang
merendahkan DPD sebagai subordinat DPR.
Sedangkan merujuk fungsi “ikut dalam
pembahasan rancangan undang-undang” dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU
PPP maka materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang melawan melawan
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 adalah Pasal 147 ayat (7) dan Pasal 150 ayat (5) UU
MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 68 ayat (5) UU PPP yang mengatur
pelaksanaan pembahasan rancangan undang-undang tanpa melibatkan DPD; Pasal 150
ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 68 ayat (3) UU PPP yang
mengecualikan DPD dalam pembahasan daftar inventaris masalah (DIM) yang
merupakan inti “ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang”.
Alirman mengakui kesulitan mekanisme kerja
DPR-DPD, utamanya dalam pembahasan RUU tertentu yang merupakan RUU versi DPD.
Misalnya, antara PPUU DPD dan Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam pembahasan
program legislasi nasional (prolegnas), RUU Pemerintahan Daerah, RUU Desa, dan
RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). “Tercatat lebih 30 RUU disampaikan
DPD kepada DPR selama tujuh tahun usianya tetapi sama sekali tidak
ditindaklanjuti DPR. Oleh karena itu, judicial
review merupakan affirmative action.”
Substansi permohonan DPD tersebut sebenarnya
meminta penjelasan MK dalam frame
interpretasi Pasal 22D UUD 1945 sebagaimana uji materi Pasal 10 UU 39/2008
tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 17 UUD 1945. “Judicial review tidak mendorong DPD dan DPR atau DPD dan partai
politik berhadap-hadapan tetapi justru interpretasi MK mendorong dan menambah materi
amandemen kelima UUD 1945 yang menjadi prioritas DPD,” ia menyambung. “Interpretasi
MK terhadap Pasal 22D UUD 1945 nantinya menjadi dasar argumentasi DPD selanjutnya.”
Yang menjadi sumber keanehan ialah mengapa acuannya
sama, yaitu Pasal 22D UUD 1945, tetapi interpretasinya berbeda dalam empat UU
yang berbeda, yaitu UU 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk) dan UU 27/2009 (UU MPR, DPR, DPD,
dan DPRD) serta UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
PPP) dan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Dalam kesempatan itu, Irman menjelaskan bahwa
berbagai persoalan di daerah memerlukan dorongan DPD untuk menangani dan
menyelesaikannya. Menimbang peran pentingnya sebagai lembaga perwakilan yang
memiliki fungsi, tugas, dan wewenang konstitusional untuk berartikulasi dan beragregasi
maka Sidang Paripurna DPD tanggal 5 April 2012 memutuskan untuk judicial review. “Tim Litigasi DPD dan para
pengacara melakukan judicial review yang
paralel dengan perjuangan amandemen kelima UUD 1945.”
Siaran pers ini dikeluarkan secara
resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat
Jenderal DPD
Penanggungjawab:
M Linda
Wahyuningrum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar